Dipaparkan pakar tsunami yang tergabung dalam anggota Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATSI) itu, bahwa sejauh ini pemerintah telah berupaya untuk membuat program mitigasi tsunami dari tingkat hulu hingga hilir.
Misalnya, di tingkat hulu terdapat sistem peringatan dini jika akan terjadi tsunami, dan diseminasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.
Baca Juga:
Awas! Gunung Ibu Siaga Level III, Semburkan Api dan Abu
Selanjutnya di tingkat hilir, pihaknya sudah dilakukan penyiapan jalur evakuasi dan shelter atau tempat evakuasi beserta panduan perencanaan evakuasi.
Kendati begitu, dalam mitigasi potensi tsunami dan erupsi GAK, korban tsunami masih tetap ada seperti dampak erupsi gunung ini yang pernah terjadi di Selat Sunda di akhir tahun 2018.
Kondisi ini, kata Widjo, menandakan program yang sudah ada belum mencukupi sehingga perlu ditingkatkan kembali.
Baca Juga:
Enam Gunung Api Berstatus Siaga dan Awas, Badan Geologi Peringatkan Bahaya Erupsi
“Saya kira publik juga perlu mendapatkan informasi secara mendetail terkait dengan potensi ancaman tsunami di lokasi di mana mereka tinggal dan tentu saja informasi lainnya terkait dengan jalur evakuasi dan tempat evakuasi sementara,” ungkapnya.
Sementara itu, periset BRIN sekaligus pakar tsunami di IATSI, Semeidi Husrin berkata saat ini penguatan sistem deteksi dini tsunami di Selat Sunda sudah dilakukan. Pemerintah telah memasang alat Inexpensive Device for Sea Level measurement (IDSL) di kompleks Gunung Anak Krakatau.
“Alat IDSL atau dalam bahasa Indonesia disebut PUMMA (Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut) merupakan hasil riset bersama dari (waktu itu) KKP, LIPI, UNILA dan Mitra Internasional JRC-EC yang telah dipasang di Selat Sunda, sesaat setelah kejadian tsunami tahun 2018," terang Semeidi.