WahanaNews-Sulut | Diduga rugikan keuangan negara senilai Rp 61 Miliar, dua orang pejabat daerah Minahasa Utara (Minut) dan satu orang pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi dana penanganan dampak ekonomi Covid-19 pada Dinas Pangan dan Setda Kabupaten Minahasa Utara, Tahun anggaran 2020.
Baca Juga:
3 Negara ini Impor Gula Merah dari Sulut
Para tersangka yang dijerat kepolisian ialah mantan Kepala Dinas (Kadis) Pangan Kabupaten Minut berinisial JNM, mantan Kabag Umum Setda Minut berinisial MMO dan Direktur CV Dewi berinisial SE.
"Modus operandinya, penyalahgunaan dana hasil refocusing untuk penanganan dampak ekonomi Covid-19," kata Kabid Humas Polda Sulawesi Utara (Sulut), Kombes Jules Abraham Abast kepada wartawan, Rabu (16/2).
Ia menyebutkan bahwa penyelidikan kasus tersebut didasarkan pada laporan polisi yang diterima pada 24 Mei 2021. Pihaknya menduga pencairan anggaran yang dilakukan masuk ke kantong pribadi mantan Kadis Pangan.
Baca Juga:
Bejat! Ayah di Minahasa Tega Perkosa Anak Kandung dan Anak Tirinya
Menurutnya, para tersangka menyamarkan bantuan sosial (bansos) sembako yang disalurkan ke masyarakat. Pemkab mengklaim bahwa bantuan itu berasal dari pihaknya. Padahal, merupakan hasil bantuan atau Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan.
"Setiap pencairan anggaran dilakukan oleh Direktur CV. Dewi yang berinisial SE, di Bank SulutGo Pusat di Manado atas 9 tahapan proses pencairan anggaran dilakukan bersama dengan tersangka JNM," jelasnya.
Dari hasil penyelidikan, terungkap bahwa uang yang diserahkan itu kemudian disimpan oleh JNM di dalam mobil HRV miliknya. Setiap pencairan anggaran, SE yang merupakan pihak swasta mendapatkan fee.
Pada tahun anggaran 2020, pemerintah Kabupaten Minut mengalokasikan anggaran penanganan dampak ekonomi Covid-19 sejumlah Rp62,75 miliar untuk beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) dan Rp4,98 miliar di Sekretaris Daerah (Setda).
Segala pengadaan dilakukan melalui satu perusahaan, yakni CV Dewi.
"Akan tetapi perusahaan tersebut hanya dipinjamkan saja dengan memberikan commitment fee kepada Direktur CV berinisial SE," ucap Jules.
Berdasarkan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI perwakilan Sulut, terdapat ketidaksesuaian penyaluran bahan pangan dengan rencana kebutuhan barang dan nota perusahaan. Sehingga, ketika diaudit anggaran tersebut mengalami kerugian hingga Rp61 miliar.
Sementara, Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Sulut Kombes Nasriadi mengatakan bahwa pengembangan terhadap penanganan kasus ini masih dilakukan. Menurutnya, tak menutup kemungkinan masih ada tersangka lain yang dapat dijerat penyidik.
"Berarti, ada pimpinan di atasnya, ini adalah dana penanganan Covid-19, ada pemotongan seluruh instansi atau SKPD," ucap dia.
Ia menyebutkan bahwa saat ini penyidik tengah mendalami dugaan keterlibatan Bupati yang menjabat pada saat itu sebagai sosok 'inttelectual dader' yang memimpin terjadinya kasus korupsi tersebut.
Namun demikian, kata dia, saat ini Bupati tersebut tengah menjalani proses pidana korupsi pada perkara yang berbeda dan tengah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan.
"Kami akan periksa dan apabila memenuhi unsur pidananya kita akan jadikan dia sebagai tersangka," jelasnya.
Menurut Nasriadi, jumlah uang yang dikorupsi tersebut sangat disayangkan lantaran malah menutup program pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi selama masa pandemi Covid-19.
"Semua digunakan untuk kepentingan pribadi, dan kita akan proses, ke mana uang-uang ini. Kita telah mengamankan 1 sertifikat tanah yang luasnya kurang lebih 15 ribu meter persegi, yang jika dinilai sekitar Rp25 miliar, kita akan sita untuk kepentingan negara," ucap dia.
Selain itu, penyidik juga telah menyita dokumen pengadaan barang, dokumen pencairan keuangan, dokumen penyaluran bahan pangan kepada masyarakat dari semua perangkat pemerintah desa se-Kabupaten Minut.
Lalu, satu unit mobil Honda HRV berwarna abu-abu bernomor polisi DB 1312 FJ yang digunakan sebagai sarana mengambil dan menyimpan uang.
Para tersangka dijerat Pasal 2 dan/ atau 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55, pasal 56 KUHP.
"Ancaman hukumannya pidana mati (pasal pemberatan karena perbuatan dilakukan saat bencana non-alam) penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan/ atau denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," jelasnya.[jef]