"Kalau pelaku usaha melakukan komitmen 20% untuk DMO itu, siapa yang mengelola dan di mana mau ditaruh, ada tangki penampungnya apa tidak? Lebih dari itu, kalau HET-nya terlalu kecil, ada kemungkinan nanti penyelundupan ke luar negeri," tanyanya.
Tungkot meyakini mestinya ada lanjutan bagaimana teknis pelaksanaan DMO dan DPO itu sangat menyeluruh. Selain itu, diperlukan juga kombinasi kebijakan seperti menaikkan pajak ekspor produk turunan minyak sawit.
Baca Juga:
Kapolri Rotasi Empat Kapolda, Polri Tegaskan Mutasi sebagai Bagian Transformasi Organisasi
"Dengan hasil pajak itu, pemerintah seharusnya bisa melakukan subsidi minyak goreng," tegasnya.
Opsi menaikkan pajak ekspor minyak sawit dan turunannya ini diharapkan bisa mengkombinasikan kebijakan yang sudah diambil. Sehingga akan memberikan dampak struktural yang efekfif dalam tata kelola industri minyak sawit di Indonesia.
Selain itu, Tungkot menilai bahwa naiknya harga minyak goreng di Indonesia disebabkan oleh meroketnya harga minyak sawit di dunia.
Baca Juga:
Meutya Hafid: Pernyataan Prabowo di PBB Jadi Pesan Kuat Indonesia untuk Dunia
"Celakanya, pemerintah gagal untuk menahan lonjakan harga di pasar domestik," kata dia.
Tungkot mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah punya kuda-kuda buat menjamin ketersediaan dan mengendalikan harga minyak goreng. Sayangnya, kebijakan pungutan (pajak) ekspor itu dibuat saat harga CPO-nya murah.
"Jadi mau tidak mau, pemerintah melakukan subsidi. Menjadi tidak efektif, karena 60 persen konsumen minyak goreng di Indonesia itu produksinya minyak curah. Paling mudah melakukan subsidi itu untuk minyak goreng kemasan," ujarnya.