WahanaNews-Likupang | Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno berpendapat bahwa pembangunan di Likupang adalah yang paling lambat dibanding Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yang lain.
Anggota Komisi X DPR RI, Vanda Sarundajang, dalam acara International Conference bertajuk Likupang North Sulawesi: Discover The Hidden Paradise di Novotel Manado, mengatakan Sulawesi Utara memiliki potensi alam dan budaya yang mumpuni untuk menarik wisatawan.
Baca Juga:
Didominasi Penegak Hukum, MAKI: Pimpinan Baru KPK Tak Mewakili Masyarakat dan Perempuan
“Tapi masih perlu dikembangkan secara profesional dan teratur,” ujar Vanda, Selasa (8/3/2022).
Di sisi lain, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Kemenparekraf RI, Rizki Handayani Mustafa, mengatakan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengetahui soal Likupang.
Hal inilah yang mendasari Kemenparekraf mengambil tema hidden paradise untuk Likupang.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
“Perlu kita suarakan terus karena orang nggak tahu Likupang di mana. Kenapa kita nggak bilang Bunaken atau Manado? Saya yakin para divers sudah kenal, maka Likupang harus dibentuk sebagai destinasi wisata baru,” kata Kiki.
1. Masalah sampah masih menjadi yang utama di Sulut
Consultant Marine Tourism, Christian Fenie, mengungkapkan bahwa sampah masih menjadi masalah utama di Sulut. Christian asal Prancis yang sudah menetap di Manado selama 40 tahun ini mengatakan, 2 bulan lalu Likupang masih dipenuhi sampah ketika ia berkunjung.
“Sepanjang jalan dari Manado ke Likupang yang saya lihat botol-botol sampah. Sampah ini adalah hal yang sensitif bagi turis luar negeri. Jangan sampai mereka foto kemudian disebarkan di media sosial dan semua orang melihat,” ungkap Christian.
Tak hanya di jalan, sampah rupanya juga banyak di laut.
Tak jarang sampah yang dibuang ke darat dan sungai, berakhir ke laut sebagai muara.
Hal ini tentu bisa merusak ekosistem laut.
“Dua bulan lalu, saya ke Likupang masih banyak sampah di sana. Kita mau jualan itu? Kalau mau membuat pariwisata TPA, bisa,” ucap Christian.
Selain sampah, hal yang harus dihindari di laut adalah penggunaan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan serta penjualan ikan-ikan yang juga dilindungi.
2. Perlu pertimbangkan desain dan promosi produk
Profesor Kepariwisataan Politeknik Negeri Manado Prof. Bet El Silisna Lagarense mengatakan, pihak-pihak terkait perlu memikirkan kembali terkait desain dan cara mempromosikan produk baik dalam bentuk kuliner, kebudayaan, maupun alam.
“Kita harus hati-hati terhadap produk tertentu. Misalnya saja kuliner ekstrem di Tomohon, apakah ini tidak menjadi masalah? Kita harus berpikir ulang bagaimana memasarkan ini,” tandas Bet.
Pemerintah perlu menggandeng organisasi dan komunitas lokal terutama yang bergerak di bidang pariwisata terkait mempromosikan DPSP Likupang dan pariwisata pendukungnya agar Likupang lebih dikenal.
Di sisi lain, wisata religi dan budaya di Sulut sebagai pendukung DPSP Likupang juga masih banyak yang belum dieksplorasi dengan baik.
Padahal, banyak potensi budaya khas Minahasa yang menarik untuk disajikan seperti Kuncikan, Upacara Adat Tulude, Pengucapan Syukur, dan lain-lain.
“Wisata sejarah di sini juga belum ditata dengan baik, padahal kita punya banyak yang potensial seperti situs-situs waruga, jejak manusia purba di Remboken, hingga jalur rempah Sulut dengan Eropa,” sambung Peneliti dan Budayawan Minahasa, Pastor Paul Richard Renwarin.
3. Masyarakat Sulut masih lemah secara literasi
Selain sampah, salah satu masalah besar lainnya adalah masyarakat Sulut masih lemah secara literasi.
Hal ini membuat kondisi alam di Sulut cukup memprihatinkan di lain sisi.
Banyak binatang-binatang endemik Sulawesi yang kemudian diburu, diperjualbelikan, bahkan dikonsumsi.
Padahal, binatang endemik merupakan daya tarik bagi suatu daerah dan memiliki peranan penting untuk menjaga kestabilan ekosistem alam.
Project Development Head PT MPRD, Paquita Widjaja mengungkapkan zona hutan lindung yang nantinya akan dikembangkan, kini dalam kondisi memprihatinkan.
“Lahannya kurang dari 200 hektare, kecil kalau untuk melepas satwa. Harus terintegrasi dengan tempat konservasi lain yang lebih besar,” ujar Paquita.
Paquita ingin mempertahankan lahan konservasi tersebut karena Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang sendiri harus berkelanjutan, tidak boleh merusak alam.
“Kalau binatang-binatang endemik tersebut punah, itu salah kita. Anoa menjadi binatang endemik yang paling mengambil hati saya karena hanya ada di Sulawesi, tidak ada di tempat lain. Ada beberapa yang didatangkan dari Gorontalo, tetapi juga ada yang memang berasal dari Sulut tapi pihak konservasi tidak ingin mempublikasikan karena takut diburu dan habis,” tutur Paquita.
4. DPSP Likupang harus memiliki narasi yang lebih jelas
Sebagai salah satu perusahaan yang sukses membangun ecotourism, Plataran Indonesia mengapresiasi kerja sama antara pemerintah, swasta, hingga masyarakat yang gotong royong mengembangkan DPSP Likupang.
CEO Plataran Indonesia, Yozua Makes, mengatakan pihaknya menjadi inisiator utama pengembangan Plataran Menjangan Resort di Bali.
“Kami dengan segala keterbatasan karena Plataran Menjangan adalah taman nasional, meskipun juga dibantu pihak lain. Di sini kami ingin mengatakan bahwa kalian harus bisa membuktikan bahwa DPSP Likupang lebih baik daripada kami karena banyak yang membantu,” terang Yozua.
Terkait DPSP Likupang, Yozua menekankan pentingnya membangun narasi yang jelas supaya orang tidak bingung.
“Masing-masing daerah harus memiliki diferensiasi yang jelas,” tutup Yozua. [rda]